Hawa panas yang menusuk dari dalam bilik kamar yang gelap dan pengap ini, mungkin sudah sekitar dua bulan berada di sini. Kamar yang memnyembunyikan segala kesedihan dan keputus asaanku. Aku melarang segala cahaya untuk masuk ke dalamnya, sehingga aura negatif selalu bermunculan entah dari setiap sudut kamar atau buku-buku yang enggan kusentuh lagi.
. . .
Bulan berpendar dengan jelas malam ini, setelah beberapa windu sembunyi usai dihajar bertubi-tubi oleh gumpalan awan hitam. Tidak banyak yang dilakukan di musim penghujan ini, hanya suntuk mengeluh dan menghisap berbatang-batang rokok yang tiada ujungnya. Sementara ada hal lain yang menghantuiku, yaitu dihajar rindu disetiap sepertiga malamnya.
Namaya Selvi, aku bertemu dengannya pada saat musim durian yang menciptakan keriuhan dari penjuru pelosok dan setiap sudut kota. Sama halnya dengan durian, Selvi membuatku mabuk seketika pada pandangan pertama. Tampilan wajah yang oriental, badan berisi, kulitnya langsap dan keangkuhan seorang wanita muda yang membuatku tertantang untuk menakhlukannya.
Di taman pinggir sungai ini, aku duduk memaku melihat perahu mesin berlalu-lalang. Berbatang-batang rokok sudah menjadi puntung, dan bir di dalam tumbler yang sudah tak lagi dingin. Disaat suntuk-suntuknya aku menunggu, akhirnya kau datang dengan tampilan wajah lesu, walau paras ayumu masih tetap terjaga.
“Maaf aku terlambat” ucapmu.
“Tidak masalah, masih banyak waktu untuk kita berjumpa lagi.”
“Jangan konyol, seminggu lagi aku akan menikah. Dan kita akan sulit untuk berjumpa, dia adalah lelaki yang pencemburu,” ucapmu meyakinkan.
“Siapa yang tidak cemburu dan takut kehilangan jika wanitanya adalah secantik dirimu.”
“Jangan menggombal, itu hanya membuatku merasa bersalah meninggalkanmu.”
“Hahaha, aku selalu menerima kenelangsaan hidup ini.”
“Hidupmu penuh aura kegelapan, ingat, kamu bukan seorang filsuf, tinggalkan semua bukumu itu–dan tataplah kehidupan yang lebih layak–karena itu bisa mengarahkanmu pada arti kebahagiaan yang sesungguhnya” ucapmu.
“Bagaimana aku bisa bahagia jika orang yang kucintai juga pada akhirnya pergi meninggalkanku,” ucapku sangsi.
Hawa dingin bulan juli yang kering menusuk pori-pori, kamu lebih banyak diam, dan aku lebih banyak mengutuk diri dengan kata-kata terakhir yang kuucapkan.
. . .
Hari-hari berjalan seperti biasanya, aku bertemu denganmu lagi di taman yang berada di bantaran sungai itu. Senyumanmu yang dulu terlihat berbeda, sepertinya menyembunyikan kepedihan. Tangismu sontak pecah dan menyandarkan kepalamu di pundakku. Seperti biasa, aku hanya lebih banyak diam dan menghisap rokok.
Aku sudah tau dengan apa yang terjadi, si bajingan itu berulang kali menyakitimu, tetapi berulangkali pula kau memaafkannya. Sepertinya aku harus belajar mencintai kucing saja, wanita terlalu rumit untuk kumengerti.