Disela kesibukan saya mengaduk kopi dan menyajikannya kepada customer saya teringat kembali dengan sebuah asosiasi bebas: kolektif, atau apapun itulah namanya. Tahun 2019 Riot Klab awalnya hanya berupa coretan-coretan di dinding bersanding dengan tulisan konfrontatif seperti “bubarkan negara” dan semacamnya di kota Malang. Riot Klab sendiri sedari awal membawa nafas Anarkisme di dalam gerakannya; menggantikan pendahulunya seperti Komune Libertarian dan Kolektif Abu Bakar. Riot Klab sendiri terbilang lebih terorganisir dan memberikan kebebasan bagi tiap individu di dalamnya untuk bersuara dan berkarya. Tapi yang namanya sebuah asosiasi bebas, akan terjadinya sebuh fragmentasi adalah hal yang tidak bisa dihindari; perbedaan pendapat dan keluar masuknya individu entah karena perbedaan idealis atau beberapa individu yang ingin merusak asosiasi ini.
Terbilang tidak mudah membesarkan nama asosiasi ini, walau namanya sudah mulai tergaung di telinga beberapa kolektif lama di Malang Raya. Apalagi semenjak kami mulai memberanikan diri membuat acara gigs di tengah pandemi covid-19 yang masih merajalela pada waktu itu.
Menghitung usianya yang menginjak 4 tahun, Riot Klab masih berkibar walau terbilang sudah mulai agak enggan karena setiap individu di dalamnya mulai mengalami kelelahan. Kondisi politik, kriminalisasi, dan kenyataan dalam realita menampar kami untuk lebih realistis. Menurut saya itu suatu hal yang alamiah, toh Stirner juga mengajarkan tidak ada yang perlu dipertahankan mati-matian dari sebuah ideologi dan pergerakan, hanya individu itu sendiri yang tau batas kapan dia akan melakukan rehat dan kapan untuk mulai terbakar kembali.
Dalam catatan pribadi saya juga, kondisi geografis Malang yang berada di ketinggian dan cenderung dingin membuat manusia di dalamnya lebih terjebak dalam sifat asketism. Namun saya tetap mengapresiasi apa yang sudah kita kerjakan selama ini, entah ruang bebas uang; pasar gratis, graffiti, dapur umum, perpustakaan jalanan, gigs musik, kepenulisan, football culture, mengorganisir pelajar, puisi, lukisan, cinta, dan gelaran-gelaran acara yang bekerjasama dengan kolektif lainnya–membawa nafas pembaharuan–dari ekslusifisme anarkisme itu sendiri. Namun saya juga bersyukur dengan adanya website ini, dia akan menjadi rekam jejak setiap apa saja yang terjadi di dalam asosiasi ini.
Kawan-kawan juga sudah membangkitkan kebiasa baru, yaitu menonton anime setiap bangun pagi: hingga lahirnya Asosiasi Wibu. Dari kegiatan itu kami sudah menyelenggarakan dua diskusi daring dengan beberapa kolektif lainnya di luar Malang sendiri. Beberapa kawan juga sudah menelurkan antologi Cerpen yang sebentar lagi dicetak dan saya sudah tidak sabar juga untuk menunggunya, mengingat saya juga berpartisipasi di dalamnya; mengingat sudah lama setelah zine RK volume-3 dicetak. Semangat literasi perlawanan juga sudah masuk di ranah sepakbola dan seorang kawan sibuk mengedarkan dan mempromosikannya di Medsos.
Saat ini kami memang sedang tercera-berai mengikuti roda nasib. Namun komunikasi yang baik harus tetap dipertahankan, terutama untuk admin website ini yang kadang sibuk dengan revisi skripsinya ketika saya meminta memposting beberapa tulisan yang sudah selesai. Sisa-sisa semangat itu masih ada, dan kerja-kerja itu tetap berjalan, meski derunya tidak sekencang dulu. Sebagi mendaku secara sepihak sebagai Pemred di akun website ini, saya sangat berterima kasih kepada kawan-kawan yang masih setia membaca setiap konten yang ada. Inilah bangunan prasasti yang berusaha untuk terus abadi dan akan dikais sejarahnya untuk generasi selanjutnya.
Setelah itu, kita akan kembali kerealita, menjadi Sisifus yang membosankan–namun tetap elegan–sebagai individu yang seutuhnya.
Saya tunggu tulisan kalian di website ini.
TAKI