Generasi Terburuk Sepakbola Indonesia
Oleh Bahari
Credit to Banksy!
Sabtu, 15 Juli 2023, laga pertandingan bergengsi sepak bola Indonesia, terkhusus Jawa Timur. Menyajikan pertandingan di antara 2 tim cukup besar di Jawa Timur; Persik Kediri vs Arema FC. Seminggu jelang pertandingan itu akan diselenggarakan di Kediri, beberapa suporter telah larut dalam euforia pertandingan tersebut. Beberapa yang tergabung dalam komunitas suporter juga telah mempersiapkan agenda untuk melakoni euforia ketika pertandingan berlangsung. Namun, timbul suatu pertanyaan mendasar dari benak pikiran –barangkali juga hati, bahwa sejak Tragedi Kanjuruhan yang telah menewaskan kurang lebihnya 135 nyawa suporter (hampir seluruhnya adalah suporter sepak bola; Arema FC), apakah pertandingan tersebut patut dinikmati dengan euforia seakan semua baik-baik saja? Ataukah bagaimana?
Jika dengan mempertanyakan hal tersebut dianggap oleh beberapa orang sebagai ajakan untuk tidak berangkat pada tribun stadion, itu salah besar. Bahkan patut dipertanyakan bagaimana jalan logika orang yang menganggap itu adalah sebuah ajakan untuk tidak berangkat; boikot. Namun, hal yang mendasari akan hal itu adalah bagaimana kita (suporter) bisa melakukan apa yang kita mampu, dalam artian adalah sebuah bentuk solidaritas untuk sesama suporter yang telah dihabisi nyawanya di dalam stadion. Tidak menutup kemungkinan, hal tersebut suatu saat tidak hanya dialami oleh suporter yang ada di Kanjuruhan pada waktu itu, namun, berpotensi dialami oleh suporter-suporter lain, suporter di tribun Stadion Brawijaya, misalkan.
Kembali flashback pada tragedi tersebut, sehingga beberapa upaya telah dilakukan oleh suporter sepak bola dari berbagai elemen, hanya untuk satu harapan; KEADILAN. Jika kita telisik dari genealogi peristiwa tersebut, sehingga seruan dari kawan-kawan suporter yang berada di Malang; usut tuntas! Apa yang telah dihasilkan dari upaya-upaya tersebut? Seharusnya, kita sama-sama menyadari bahwa suporter adalah golongan yang rentan mengalami represifitas oleh orang-orang gagah bersenjata itu. Betapapun sebelum adanya tragedi yang menewaskan ratusan nyawa itu, suporter Kediri dan Malang acapkali berseteru. Bahkan, sampai pada puncaknya, jalanan menjadi saksi mereka melakukan perseteruan, hanya atas nama fanatisme.
Barangkali, kita sama-sama bisa menyepakati, bahwa dalam sepak bola tidak hanya melulu perihal menang-kalah, senang-sedih, tapi ada hal yang lebih daripada itu. Mengutip Tan Malaka, bahwa sepak bola adalah alat perjuangan, atau tokoh-tokoh lain yang menganggap sepak bola adalah blablabla. Dalam sepak bola kita bisa menjumpai sebuah percintaan suporter dan tim (hal ini bisa dimaknai, bahwa tim adalah identitas yang membawa nama wilayah, atau mungkin identitas-identitas lain), pergulatan sosial, politik, ekonomi, dan barangkali adalah nilai kebudayaan. Maka daripada itu, berkutat pada tragedi yang pernah terjadi tertanggal 1 Oktober 2022 tersebut, selayaknya kita melakukan upaya perjuangan-perjuangan yang pada nantinya upaya itu akan kembali pada seluruh suporter itu sendiri.
Mungkin, perhari ini beberapa suporter masih menyimpan sentimen-sentimen (entah sentimen yang memiliki landasan ataupun tidak), hal tersebut tidak disalahkan. Anggap saja dinamika para suporter. Namun, hal yang perlu untuk digaris bawahi, dan patut untuk dijadikan sebuah refleksi, adalah kita (suporter) sebagai golongan yang rentan terhadap represifitas orang-orang gagah bersenjata itu, dan jika kita menelisik lebih mendalam, sebenarnya kita hanya konsumen dari tim, hanya konsumen, tidak lebih. Padahal, dalam pergulatan sistem atau manajemen tersebut, suporter andil penuh dalam kemajuan sebuah tim. Nah, jika hal serupa tidak dilandasi oleh beberapa refleksi yang radikal, mendalam, mengakar, hal yang terjadi oleh kawan-kawan suporter di Malang bisa jadi akan terulang kembali. Bak seekor keledai yang jatuh pada lubang yang sama. Tanpa pernah mengevaluasi, memperbaiki apa yang seharusnya kita upayakan, menjadikan dunia suporter adalah ruang yang aman, egaliter, bagi siapapun (anak-anak, ibu hamil, dan sebagainya).
Pembunuhan ratusan nyawa di Kanjuruhan sebenarnya adalah suatu hal yang nyata, bahwa tidak ada jaminan apapun –terkhusus keamanan yang didapat oleh suporter kecuali suporter tersebut menciptakan ruang yang aman dan nyaman itu sendiri. Ketika pembunuhan itu terjadi, upaya negara sebagai penjamin keamanan dan tetek-bengek yang seharusnya adalah kebutuhan fundamental rakyat melalui konstitusi, ternyata kita sama-sama tahu hal tersebut sama sekali tidak membuahkan apapun, tim Arema FC dan negara seakan nirempati terhadap korban dan keluarga korban. Jika paradigma yang berlaku hari ini demikian, sudah pantaskah euforia pertandingan 15 Juli yang akan datang dinikmati dengan perseteruan antar suporter? Jika iya, saya menganjurkan anda yang menyepakati perseteruan untuk pergi ke bengkel logika (jika ada), jika tidak, saya hanya bisa menganjurkan untuk refleksi diri anda agar apa yang akan menjadi sikap anda adalah sikap yang tepat.
Sedikit untuk mengkaji hal tersebut, jika kita mengikuti upaya perjuangan yang dilakukan oleh kawan-kawan di Malang (Ambon Fanda, dkk), pihak yang patut kita kecam adalah tim Arema FC sendiri dan beberapa suporter yang entah-berantah keberpihakannya (saya rasa kawan-kawan tahu, pihak siapa). Perjuangan yang dilakukan melalui ruang alternatif seperti di skena musik, jalanan, bahkan sampai pada jaringan rakyat akar rumput; petani, buruh pabrik, rakyat miskin kota, penganggur, mahasiswa, dan elemen lainnya adalah suatu cerminan, bahwa sepak bola tidak melulu perihal menang-kalah, tapi melibatkan suporter dari berbagai elemen tersebut. Selain itu, pihak yang patut kita kecam secara tegas adalah negara melalui beberapa instrumennya, yang seharusnya memiliki kewajiban untuk menegakkan keadilan pada kasus yang sangat sadis itu.
Berkutat pada sependek pengetahuan tersebut, kembali kita bertanya pada diri kita masing-masing bahwa jika kita mengambil sikap untuk tetap saling berseteru, sentimen-sentimen kebencian terhadap siapapun yang akan datang kelak pada pertandingan, apakah sikap tersebut adalah sikap yang bijak? Tanpa sesekali kita mengevaluasi apa-apa saja yang telah berlalu, dan apa-apa saja yang telah merugikan kita sebagai suporter. Seakan, ratusan atau bahkan ribuan bunga karangan yang menghiasi duka di Kanjuruhan suatu lalu hanyalah ceremonial belaka, tanpa kita menyikapi hal tersebut dengan sikap yang tepat. Jika memang iya, ternyata benar, kita tak pernah belajar dari masa lalu, kita telah mengabaikan esensi sepak bola sebagai ruang yang aman, nyaman, dan egaliter, pada intinya, kita tetap bodoh atas nama fanatisme tanpa mengkaji ulang peristiwa yang benar-benar menjadi pelajaran yang serius.
Jika salah seorang dari kita memiliki kesadaran yang hampir sama, saya mengajak kalian untuk menjadi generasi terburuk pada dunia suporter, yang lebih mengutamakan sisi kemanusiaan terhadap siapapun yang datang ke tribun, dan memiliki sikap politik yang sama, bahwa sepak bola tidak hanya dinikmati atas landasan fanatisme buta, namun lebih daripada itu, sepak bola meliputi cinta, pergulatan sosial, ekonomi, politik, yang seharusnya itu semua berpihak penuh terhadap suporter yang sangat rentan terhadap monopoli kapitalistik, represifitas negara melalui beberapa instrumennya. Dimulai sejak kapan? Dimulai dari hari ini sampai seterusnya! Tidak hanya pada pertandingan 15 Juli mendatang, namun sampai pada sepak bola bisa nikmati oleh siapapun; anak-anak, ibu hamil, pengangguran, rakyat miskin kota, petani, dan seluruh elemen masyarakat.
Sebab, bersikap pasif terhadap apapun yang telah merampas hak bersama adalah sebuah kejahatan itu sendiri, dan itu tak lebih hanyalah sebuah upaya bunuh diri. Sekali lagi saya mengingatkan, selayaknya kita belajar dari peristiwa yang telah berlalu, ketika hal terburuk terjadi, seakan tidak ada jaminan atas keselamatan siapapun. Bahkan, pasifisme dan dialog perdamaian hanya membuahkan hasil bahwa keikhlasan atas apapun yang telah hilang dari diri kita adalah sebuah keniscayaan. Maka dari itu, sebelum hal terburuk itu terjadi, mari kita sama-sama menyadarkan sekitar (dimulai dari diri sendiri) bahwa memilih sikap yang tepat adalah tidak berseteru atas landasan sentimen fanatisme buta, bahkan, seharusnya sesama suporter yang rentan saling bersolidaritas agar esensi sepak bola yang berhak dinikmati oleh siapapun bisa diwujudkan.
Salam Hangat!
Bahari, asal nganjuk. Temui tulisan-tulisannya di kembarasunyibahari.blogspot.com