Fuck The Heroes Vol. 03 adalah upaya mengorganisir para pegiat musik atau lingkar komunitas yang menamai diri mereka Mauk Kolektif dan masih berpegang teguh pada kultus DIY, setidaknya itu yang saya baca dari selebaran newslatter yang mereka bagikan pada hari minggu lalu(6/8) bertempat di Aero Coffe, Banjarbaru.
Lokasi gigs yang menarik, mengambil sudut dari coffe shop yang disulap menjadi lapangan basket mini sejatinya adalah wahana yang menyenangkan juga untuk dijadikan wadah live musik underground, mungkin minusnya hanya berada di area terbuka saja.
Sepertinya hal yang tidak diinginkan pun’ terjadi, langit yang awalnya cerah dalam seketika berubah menjadi hitam pekat dan hujanpun turun dengan intensitas yang lumayan–berulang kali mengguyur stage. Panitia menjadi kelabakan karena harus bongkar-pasang alat untuk mengamankan ke tempat teduh agar tidak terjadi konsleting pada alat seperti sound dan ampli. Acara yang harusnya di rundown mulai jam 03:00 dan pungkas pada jam 19:00 harus molor sampai sekitar 22:00 WITA(saya benci menulis angka dan waktu).
Di luar kendala cuaca, semua berjalan aman dan tertib, paling gangguan kecil hadir dari para pendekar kungfu maskulin yang selalu mengganggu keseruan acara, dan sialnya mungkin dari delapan performer, Blenket band Hardcore Punk yang harusnya perform sebagai pamungkas acara gigs ini harus menunda mengokupasi panggung karena masalah kendala batas waktu.
Serba-Serbi Democrust
Para personil Democrust sibuk mencek senjatanya masing-masing selaku penutup acara Fuck The Heroes, di bawah langit yang sepertinya mulai kompromi dan hanya menurunkan rintik-rintik kecil saja. Tanpa banyak tedeng aling-aling, di hadapan para penggemarnya band Dbeat Crush ini langsung membuka protes mereka lewat lagu Kinipan, sebuah lagu yang tidak perlu ditanyakan lagi keberpihakan politik mereka terhadap kasus pencaplokan hutan adat dan kriminalisasi kepada pejuang lingkungan demi kepentingan ekspansi sawit. Kemuakan itu dibarengi dengan riff riff berat bak gelontoran kanon. Semua orang bersuka cita mulai dari pogo seribu gaya bak Makarena(Krowbar,MV: Saga Malam Sabbath), berebut mic untuk sumbang suara, atau hanya sekedar berdiri mematung bak intel kotapraja. Akhir pertunjukan pamungkas diakhiri dengan 1312 pilihan song list akhir yang tepat untuk memaki birokrasi terbobrok di negara ini. Apalagi pada saat penulis menggarap tulisan wawancara ini, baru saja tersiar kabar bahwa Ferdi Sambo seorang jendral polshit pelaku pembunuhan terhadap ajudan pribadinya hanya divonis seumur hidup, bukan hukuman mati. Sungguh tidak sepadan dengan drama berkepanjangan yang mereka buat.
Di penghujung acara, saya menghampiri K selaku vokalis untuk menagih interview yang sudah kami janjikan jauh-jauh hari, tidak saya duga dia sangat responsif lalu mengumpulkan anggota band lainnya.
Sedikit kikuk dan pengaruh alkohol, membuat saya bingung dalam melempar pertanyaan kepada mereka.
Namun begini kira-kira hasil perbincangan saya dengan mereka. Pada tahun 2021 di kota banjarbaru berdiralah sebuah band bernama Democrust yang mengusung Dbeat Crust Hardcore. Di dalamnya terdiri dari K(vokal), A1(gitar), N(drum), P(gitar),dan A2(bass), sejauh ini mereka sudah memiliki EP yang dirilis pada tahun 2022 bertajuk Served Without Solution yang digarap secara mandiri dan diedarkan lewat platform digital dan fisik berupa tape pita.
Kurang bijak rasanya jika sudah memiliki karya tanpa merayakannya dengan tour, terutama di luar Kalimantan. Menurut N mewakili kawan lainnya,”ada mas, rencana akhir tahun. Itu baru planning, rencananya mau ke Jawa dan Bali.”tuturnya, “mulai dari Jogja, karena selama ini banyak teman dari Jogja yang udah bantu promo Democrust di Jogja, kayaknya agak kurang bijaksana kalo kita gak mampir ke kota itu.”Ucap A1 menambahkan. Mereka juga menekankan bagaimana pentingnya berjejaring, meski pada dasarnya berjejaring itu terbentuk secara organik. “Kita gak sampai di sini kalo nggak karena berjejaring, apapun itu, mau penyebaran musik, mau tempat buat main, semua terbentuk karena jejaring itu sendiri.” Democrust sendiri terbentuk selain untuk berkarya juga bertujuan berjejaring itu sendiri, karena banyak dari personil yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda dan ingin menambah lingkar pertemanan.
Ketika saya tanyakan kenapa mereka memilih jalan Hardcore Punk, K menjelaskan bagaimana semua berasal dari dirinya pribadi yang notabenenya pendengar genre Dbeat Punk dan HC Punk seperti Discharge, Interadd, dan lainnya. Awalnya bersama A2, lalu merangkul personil-personil lainnya,”gimana kalau kita bikin band, tapi musiknya kayak gini, dan kawan-kawan yang ada sampai sekarang sepakat kita memilih di situ.”semua nampak berjalan natural. Meski beberapa personil tergabung di band dan genre lain, mereka tidak ingin mencampur adukkan itu karena merasa Democrust memiliki benang merahnya sendiri dan lebih memilih profesional. Dalam pengaruh musik mereka yang gencar mengkritik pemerintah dan masalah kerusakan lingkungan yang terjadi di bumi Borneo Democrust merasa perlu menyuarakan atau campaign lewat karya mereka, “jadi sebenarnya kayak pengen menyuarakan dan di EP kami Served Without Solution itu, sebenarnya kami ada caption kami tidak memaksa kalian sependapat dengan kami. Apapun lirik yang kami keluarin, musik yang kami keluarin, karya yang kami keluarin itu sebenarnya apa yang kami rasakan aja.” Ungkap K. Mereka berharap setidaknya ada dampaknya untuk kesadaran masalah lingkungan terutama bagi kalangan penggemar musik underground, mereka juga pernah manggung di Banjarmasin dan melakukan bagi-bagi bibit pohon. “Masalah dampak juga sebenarnya di salah satu lagu Democrust judulnya ‘Kinipan’ itu mungkin kayaknya kita hidup di Banjarbaru ini tidak merasakan dampak secara langsung. Cuman sekarang era sudah media sosial kita baca kayak gitu(berita) gerah juga. Kita bisa bersuara dengan berbagai macam platform, ada yang mungkin jadi SJW di Twitter, tapi ada juga yang lewat musik(….)jadi paling nggak pendengar Democrust ini kan’ kebanyakan anak muda, selama ini biar anak muda tau Indonesia ini nggak baik-baik aja.” Tambah A1.
Sebenarnya banyak Gogon yang tersebar di kalangan pecinta musik Banjarbaru-Banjarmasin tentang Democrust, tentang bagaimana isu bahwa Democrust manggung di acara pemerintahan, atau bagaimana sentilan terhadap background setiap personil namun menyanyikan lagu-lagu yang mengkritik pemerintah dan korporasi dengan cadas. Pada saat penulis menanyakan ini, agak ragu dan sempat menanyakan ke beberapa kawan dan pihak Democrust sendiri, apakah akan saya tayangkan atau tidak. Namun mereka nyatanya fine-fine saja, selain ini bagian dari keterbukaan informasi dan diharap tidak terus berlanjut menjadi bahan obrolan tongkrongan yang dikhawatirkan menjadi duri dalam scene underground Banjarbaru sendiri.
Democrust langsung mengklarifikasinya bahwa mereka tidak pernah manggung di acara pemerintah, “itu personal, orang itu personal sama K nah itu saja udah, tuliskan lah mas kalo boleh.” Ucap A1 menyerobot. Jadi Democrust tetap memiliki sikap terhadap acara-acara dari departemen tertentu yang berbeda pandangan Democrust, lalu mengajak bekerja sama , tentu mereka tidak akan pernah mau. Jadi mereka lebih menekankan lebih ke personal bukan terlibat dalam Democrust sendiri. “Kalo kami pribadi mas, intinya kalo untuk Gogon kayak gitu emang udah lama, ini bukan untuk pertama kalinya K diserang, tapi yang diserang ini ada bujurnya(benarnya) juga. Kami sebenarnya tidak pernah reaction untuk masalah seperti ini, tapi kami react ketika isu ini beredar semalam, karena itu nggak benar, dah itu aja” tutup A1. Mereka juga mempertanyakan ketika background mereka disebar, harusnya para haters bertanya dalam diri mereka masing-masing, dalam posisi beberapa personil Democrust yang berada di dalam sistem, mereka masih berani menyuarakan ketimpangan; harusnya yang di luar pun lebih bisa dari itu.
“Dan sepengetahuanku juga, kayaknya untuk bersuara ini nggak ada batasannya. selama kita hidup, selama kau bersuara, yasudah. Banyak aja orang misal contoh bapaknya polisi tapi anaknya membenci polisi. Banyak hal kayak gitu, jadi kayak the freedom of speech.” Tambah K lagi.
Tapi yang jelas Democrust memiliki keberpihakan dalam otonomi politik mereka karena merasa banyak hal yang sudah tidak baik-baik saja, mulai dari negara yang ‘aneh’; pemerintah ‘aneh’; sistem ‘aneh’, dan harus ditambah ‘keanehan’ ini dibawa ke dalam skena.
Saya pun’ menanyakan bagaimana pendapat mereka tentang acara yang diselenggarakan oleh Mauk Kolektif yang sudah berjalan sampai volume ke tiga ini. Mereka mengatakan kalau acara ini benar-benar bagus dan sudah mengorbit dua band pendatang baru seperti 05:11 dan Sando Void. Mereka tetap konsisten pada prinsip DIY dan tidak bergantung pada sponsorship dan tertutup dalam mememberi akses lokasi gigs di kalangan umum. Memberikan wadah juga kepada band-band untuk perform di hadapan umum agar tidak sia-sia dalam berkarya. “Kayaknya Mauk ini selalu bersikeras untuk main di sore hari”. Proggresnya pun makin lama makin matang. Penerapan No Ticket No Party juga berjalan baik.
Untuk produksi lanjutan, I memberi bocoran, “Jadi kita udah, rencana dua single yang mau kita garap. Ini udah on proggres.” Yang lalu ditimpali K bahwa yang benar adalah satu single dan satu demo. “Jadi terakhir itu drum, udah teg, lalu dilanjut bass” tambah I. Satu demo mungkin berisi tiga atau empat lagu yang rencananya akan rilis tahun ini. Untuk proses recording mereka masih menggarap secara mandiri dibantu kawan-kawan lainnya. Sedang untuk pemasaran, mereka masih menggantungkan pada platform digital, manggung, dan merch. Masih standar kebiasaan anak band pada umumnya. “Itu aja kan, apalagi yang dikerjain anak band, masak menggosip?” Ucap A1 sambil terkikih. Pendekatan teman ke teman juga menjadi poin penting, kembali kelingkaran berjejaring itu sendiri.
Untuk band lokal rekomendasi yang akan redaksi wawancarai selanjutnya, Democrust menyarankan banyak nama. Salah satunya seperti RCKA, Lunarosa, Ferdinan Fadel, Pesawat Tempur, dan Muram. “Tapi yang paling well spent, yang harus kita tonton itu Minor” ucap mereka. Berhubung mereka sedang giat dan produktifnya. Kalian bisa membaca tulisan kami tenang Minor di sini.
Untuk manifesto, mereka menginginkan bisa menjadi lebih besar dari sekarang, agar musik dan pesan yang mereka sampaikan bisa didengar oleh khalayak yang lebih luas. tidak lupa juga, konsisten dalam berkarya.
Seperti biasa, untuk penutup wawancara, dosis musik harian: K (The Stone Roses-Im A the Resurrection); A1 (Sticky Finger); N (Counterparts-You’re Not You Anymore’album’); P (Rockapudink); A2 (Elephant Kind).