RIOTKLAB
BRING BACK OUR MEDIA!
Menyikapi Graffiti Hari Ini
Categories: General

Sejauh ini perjalanan serasa merambat pelan saja. Dibarengi dengan kehidupan yang biasa-biasa saja pula.
Kegiatan paling hanya seputar membuka kedai di pagi hari dan menutupnya ketika langit sudah mulai menua.
Kegiatan menulis pun mulai menurun, apalagi yang berbentuk opini atau esai. Paling hanya menulis liputan pendek atau review-review musik dan ngedit tulisan dari kontributor di media non profit kawan-kawan di Riot Klab. Sisanya hanya menunggu balesan chat mbaknya yang tak kunjung terang.

Agak sulit ketika diminta Kacunk menulis di zine yang sedang dia garap, apalagi jika konten yang diangkat dalam tulisannya bertema.
“Jalanan” itu tema yang dia lemparkan kepada saya. Merefleksikan tentang jalanan ini terasa begitu luas. Suatu jalur penghubung untuk berinteraksinya berbagai macam budaya. Namun jalanan ini identik juga dengan kerasnya kehidupan. Bagaimana melahirkan kultur-kultur orang yang jengah dengan kehidupan yang begitu-begitu saja dan memilih untuk turun ke jalan. Membawa mereka pada fase dan sudut pandang yang berbeda dari orang pada umumnya. Tak heran, biasanya orang-orang semacam itu–adalah orang-orang yang visioner.

Saya mungkin punya sedikit pengalaman di jalanan, dan lumayan sedikit sentimentil. Seperti turun ke jalan pada saat berdemonstrasi atau ketika saya masih duduk di bangku SLTA dan melakukan perjalanan estafet menaiki bak truck satu ke truck lainnya, demi menonton band idola yang sedang manggung di kota tetangga. Sampai pada satu titik ada kawan saya yang tewas akibat terlindas ban truck; dan dari situlah saya berhenti melakukan kegiatan itu lagi. Untuk sekarang, lebih baik menyiapkan segala hal lebih matang dan safety, dan tentunya bermodal– daripada mati konyol hanya untuk kesenangan yang tidak jelas.

Selain itu, saya juga aktif dalam dunia graffiti. Kegiatan ini masih saya lakukan sampai sekarang. Graffiti adalah salah satu kultur jalanan dari Barat yang berbarengan sampai di negara ini ketika tari kejang dan Hip-hop menjangkiti negara ini bak pandemi. Sampai-sampai rezim Orba kelabakan dan mengecamnya lewat pidato-pidato Harmoko di TV.

Saya adalah tipikal orang yang melihat suatu hal sampai akarnya(sejarah). Tidak terkecuali dunia Graffiti, yang hanya berawal dari keisengan seorang TAKI183 yang mencoret inisial namanya di sepanjang lorong dan kereta bawah tanah. Lalu menarik perhatian jurnalis dari New York Times dan meliputnya, akhirnya boom, berita meledak. Lalu lahirlah para graffiti writer yang mengikuti jalannya demi ketenaran yang praksis. Graffiti terus mengalami perkembangannya seiring perjalanan waktu, mulai dari stayle; dan dari jalanan atau tembok ghetto lalu berpindah ke ruang-ruang eksklusif studio pameran seni yang mewah.
Sebuah kegiatan yang sebenarnya hanya pelarian dan berbau narsisme, sampai ke arah yang berbau komersil. Kita tidak bisa menghindari itu, kapitalisme terus merongrong ke segala lini, meskipun itu di dalam lingkup se-marjinal apapun.

Saya selalu setia dengan pakem lama, ketika itu memang memiliki marwah dan spirit dalam setiap geraknya. Sama seperti semangat DIY yang diserukan oleh anak Punk, saya selalu setia dengan gerakan graffiti bombers. Gerakan yang selalu dicap vandal oleh masyarakat dan dianak tirikan pula oleh para graffiti artist dan pelaku street art. Padahal bombers/bombing adalah cara mempertahan kultus lama dari graffiti, ketika para graffiti writers sekarang lebih sibuk menjual karya dan mau turun untuk menggambar ketika ada event besar saja atau digandeng oleh EO(sungguh hal yang disayangkan).

Padahal graffiti memiliki fase dalam stayle dan tehnik. Mungkin sederhana seperti ini:
Tagging-Throwup-simple piece-piece(dengan berbagai macam style dan karakter). Jika ada tambahan lain, mungkin itu hanya varian saja.
Namun, ketika mereka membuka reverensi di IG atau Pinterest, mereka terlalu fokus pada piece atau realism. Ini yang menciptakan gap di dalam graffiti. Karena tidak semua paham dan mau belajar tentang sejarah graffiti, mereka hanya tau menggambar dengan indah menggunakan pilok mahal dan mempostingnya di Instagram demi atensi.
Saya berani cerita seperti ini karena pernah mengalaminya. Jika di kota besar seperti di Malang(tempat saya kuliah dulu), mungkin banyak yang tau dan paham perjalanan graffiti, tapi ketika saya baru sampai di Sampit, ini sungguh hal yang menyebalkan. Graffiti benar-benar hanya dijadikan sebagai ladang mencari uang. Saya sempat dicepuin juga, namun itu tidak akan menghentikan saya.
Kota tanpa coretan di dalamnya, hanya berisi setumpuk emas yang tak berharga.

GRAFFITI ADALAH PROTES!!

Siapa bilang memberi pesan perlawanan harus dengan gaya stencil ala Banksy atau menempel art paper saja. Saya menolak keras ketika seorang kawan mengkritik saya mengatakan bahwa kegiatan bombing kurang ngena, dan lebih baik membuat gambar yang lebih berkesan semacam mural dan pesan tersampaikan pada masyarakat. Saya tidak suka pandangan semacam ini, seakan-akan protes harus ada tujuannya, harus di-notice khalayak ramai dan bernilai “seni”. Masih banyak media lain untuk menyuarakan ketimpangan, tidak harus dari tembok saja. Padahal sudah sudah saya jelaskan di atas, suara jalanan memiliki caranya sendiri.
Graffiti adalah refleksi ketika kejenuhan terhadap kehidupan kota. Membawa diri pada teror-teror ketika aerosol ditembakkan. Kehidupan liar di malam hari, ketika paginya mereka harus bergelut dalam pekerjaan yang memuakkan; dan membalasnya pada malam hari dan menjadikan kota sebagai taman bermain.
Tidak semua orang bisa protes dengan menyanyikan lagu Buruh Tani bersama mahasiswa, ketika lingkup gerakan makin terkotak-kotak dan dikuasai oleh mahasiswa. Atau menulis dengan kritis di media-media ala SJW Twitter.
Bombing adalah penyampaian paling sederhana; melepas penat; degupan sensasi; dan puas ketika gambar sudah dituntaskan. Akhirnya pulang ke rumah dan tidur dengan tenang, dan bangun pagi sambil menyengir ketika melewati titik yang sudah digasak semalam belum ditutup oleh si empu pemilik properti.
“Propherty is theft” jika mengutip Proudhon, dan bombing adalah salah satu cara mengkritik hak atas kepemilikan, thats why i stall you with my cans spray. So sesimpel itu.

GESEKAN ANTARA GRAFFITI BOMBERS DAN GRAFFITI ARTIST/ PELAKU STREET ART

 

Gesekan antar penggerak graffiti ini kadang menyebalkan memang. Di ranah bombers, aksi buff atau tumpuk menumpuk adalah suatu hal yang biasa. Tindakan itupun jarang terjadi, jika bukan karena konflik atau memang Toy(sebutan untuk pemula). Namun scene graffiti mulai lebay ketika yang protes karyanya adalah para graffiti artist. Contohnya sebut saja seperti Darbots, ketika dia berkicau di akun Twitternya karena gambarnya ditimpa oleh para bombers. Bukannya di-notice positif dan mengutuk tindakan itu, justru banyak netizen yang menyerang dia balik.
Bukan sekali Darbotz bersinggungan dengan para graffiti bombers, pernah juga ramai di Medsos ketika gambarnya ditimpa oleh Send7, seorang graffiti bombers yang lumayan punya nama di graffiti akar rumput Jakarta.
Untuk kejadian itu bisa kalian baca di rubrik Vice:
https://www.vice.com/id/article/vvddjb/semalaman-di-jalanan-jakarta-bersama-kru-graffiti-btv

Hal semacam itu menciptakan sekat. Menurut saya, tindakan menimpa tidak mungkin tanpa alasan, dan mau apapun itu genrenya, hal itu juga lumrah di jalanan. Saya benci ketika mendengar para graffiti artist menganggap bahwa para bomber mencari perhatian ketika meniban karya dari para artist graffiti/street art.
Para graffiti bombers memiliki ruangnya sendiri, dan memiliki penikmatnya di lingkup graffiti itu sendiri.
Fuck attitude kalo itu cuma menguntungkan abang-abangan dan para graffiti artist. Seolah-olah hanya mereka yang memiliki kendali penuh ketika memiliki uang untuk membeli kaleng mahal dan berbangga hati ketika postingan mereka di-respot oleh Gardu House atau akun IG graffiti besar lainnya. Biasanya mereka ini yang suka mengambil ruang-ruang atau mengambil jalur yang dilalui oleh para graffiti bombers. Ketika space diambil(tiban) oleh para bombers, mereka kesal dan merasa tidak sebanding dengan cost dan konsep piece yang mereka buat.
Ngapain kesal, toh sudah ada pengarsipan dalam bentuk foto dan post IG. Toh yang biasanya mereka incar kan jumlah likes dan viewers. Bukan rahasia umum juga, jika tujuan dari itu hanya untuk memasarkan karya dan menerima jasa jadi tukang cat.
Hal termudah untuk menilai seberapa jauh orang memahami graffiti: cukup lihat dari dia membuat throw up dan tagging. Jika masih jauh dari kata memuaskan, berarti memang dia belum benar-benar terjun ke dunia graffiti.
Dan orang-orang inilah yang biasanya merasa paling mewakili graffiti, dan selalu berada di garda terdepan untuk mencari muka di depan masyarakat dan pemerintah(sambil berharap duit projek).

Reference:
https://www.taki183.net/
Banksy the man behind the wall : Book
GRAFFITI DI INDONESIA: SEBUAH POLITIK IDENTITAS ATAUKAH TREN? (Kajian Politik Identitas pada Bomber di Surabaya) https://ojs.petra.ac.id/ojsnew/index.php/dkv/article/view/17044
https://artsupplyguide.co.uk/graffiti-vs-street-art
Dadaisme
Situationist International
Sociaty of spactacles: Guy Debort
Fight Club :Movie

Sri Prabovvo(dont listen taki)
Suka berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya.

Comments are closed.