Source foto : Sportify/Monkey to Millionaire
“So long as you write what you wish to write, that is all that matters; and whether it matters for ages or only for hours, nobody can say.”
― Virginia Woolf, A Room of One’s Own
Dalam sumbisi column ini, Kevin Alfirdaus menceritakan pengalaman batinnya – tentang ruang di mana manusia mungkin akan merefleksikan rasa sakit yang punya kaitan erat dalam track Monkey to Millionaire yang berjudul Merah.
Di dalam kamar yang gelap, saya genap mendengarkan lagi lagu yang membuat perasaan sulit di-eja. Jika kita kritis menilai, tempo musik itu bagai fase kehidupan; tinggi-rendah-bersemangat. Di dalam kamar itu, saya teringat “Kamar Milik Sendiri” karya Virginia Woolf. Beberapa musisi sekaligus penulis mungkin pernah menuliskan “A Room of One’s Own”, seperti dalam artikel medium milik Angeeta Sentana yang ditulis 2021. Vokalis Grrrl Gang itu bercerita perenungannya akan kecemasan pendidikan dan hari kemenangan penuh dengan bunga dan coklat serta perasaan ironi pada orang-orang yang diciintainya; namun ia mengingat Virginia Woolf dan pengorbanan para perempuan untuk bisa menulis di dunia modern – A room of One’s Own menjadi titik balik vocalist Grrrl Gang itu untu melanjutkan mimpi dengan menghabiskan hari-harinya di atas meja berwarna merah. Jauh sebelum tulisan Angeeta terbit, Leila S Chundori dalam pengantar Novel yang berjudul “Malam Terakhir”, menuliskan; seorang Penulis (tak terlebih semua pekerja seni) membutuhan sebuah ruang. Baik ruang fisik maupun ruang imajinatif yang membuatkan guratan “pagar” agar tidak terganggu oleh “dunia luar”. Karena dalam kamar, bagi Leila S Chundori; seseorang akan menemukan ruang paling intim untuk sekedar bertemu dengan huruf, kata yang kemudian lahir, tumbuh, dan kawin antar satu sama lain, dan dari semua itu membentuk sendiri sebuah cerita. Tak terlebih, proses-proses dunia luar yang bahkan, hampir merenggut nyawa saat kita terjaga di dalam kamar. Lewat lagu Merah – Monkey to Millionaire; aku merasa ada cahaya yang lahir untuk sekedar berpasrah atau bangkit.
Lagu Merah terdiri dari album “Lantai Merah” yang dirilis tahun 2009. Band asal Jakarta yang dianggotai oleh Wisnu Brahmana (gitar, vocal), Agan Sudrajat (Bas, vocal latar), dan Emir Kharsadi (drum) membawakan nuansa musik alternative rock. Tak terasa, Monkey to Millionaire tengah menginjak usia 19 tahun itu melepas rindu bersama fansnya di acara ‘Cherry Pop Fest’ di Kota Yogyakarta pada 19 Agustus 2023 lalu.
Tak secerah itu
Tak sehalus itu
Dan aku tersayat lagi
Merahi lantai lagi
Tenang ‘tuk sementara
Jadi malam sementara
Dan aku tersayat lagi
Merahi lantai lagi
Tentu, satu diantara kita semua pernah mengalami kenyataan terkait pengalaman mental yang relate akan lirik diatas. Sebut saja, pemuda di generasi sekarang sedang mengalami “Quarte-life Crisis’ yang tajam. Quarter life crisis mengacu pada fenomena psiokologis di mana seseorang merasa cemas, bingung, dan selalu merasa tidak puas akan pencapaian hidup mereka sendiri – kaitan quarter life crisis dengan eksistensialisme adalah saat seseorang mempertanyakan makna hidup dan juga ketidakpastian; yang akhirnya seseorang melakukan self-destruction atau tendensi untuk menyakiti diri sendiri. Quarter life crisis tidak pandang bulu dan bisa menyerang siapapun, fenomena tersebut kompleks dan personal – bisa jadi dipengaruhi oleh krisis ekonomi politik, keluarga, bahkan krisis eksistensi.
Meskipun tidak ada penelitian khusus secara langsung yang membahas hubungan antara mendengarkan musik dengan krisis eksistensial, namun ada penyebutuan jika musik dapat memberikan dampak positif pada individu dan masyarakat selama masa krisis. Keadaan tersebut bukan hal baru bagi segala jenis genre PUNK, karena bagi beberapa pelaku seni musik tersebut; musik dengan irama cepat dan distorsi dapat mengeluarkan energy negatif. Baik dalam genre apapun, musik dapat memberikan dukungan emosional, refleksi diri, membangkitkan kreativitas, dan memberikan rasa nyaman kepada pendengarnya.
Mari lanjutkan cerita saya awal pertama kali mendengarkan Merah – Monkey to Millionaire;
Di sana, di alam sana
Semua terlihat sama
Tak ada yang kecewa
Tapi hanya sementara
Kembali ke lantai lama
Mengingat semua perjalanan hidup dan sulitnya seseorang menerima kekecewaan di dalam kamar, sendirian; ini terlihat dramatis. Pernahkah membayangkan lampu kamar padam dan akhirnya kita senang sendirian dengan kondisi kamar yang berantakan? Tapi jauhkan pisau dan benda sajam yang ada di sekitarmu, hilangkan kepuasan itu selagi belum terlambat. Baik mencoba untuk pertama kali maupun terbiasa mewarnai lantai merah dengan darah.
Pada 2021, saya menulis cerpen berjudul “Cahaya yang lengkap di Ruang yang Kosong” pada tahun yang sama, Enola merilis lagu bersama Angeeta Sentana (Grrrl Gang) dalam track Blue Waves; jeritan rasa sakit, gelisah, serta nyanyian indah di lagu itu yang barangkali tidak akan kita temukan dalam karya Grrrl Gang lainnya. Mengingat bahwa bertahan merupakan proses yang se-sulit itu, saya tahu, beberapa orang pergi ke pendeta; dan saya mencari perlindungna lewat puisi Virginia Woolf serta Lagu Merah. Dan saya menemuan susunan frasa dan fragment; saya ke teman-teman saya, saya ke hati saya sendiri, untuk sekedar menyadari “yang begitu tidak sempurna, begitu lemah, begitu kesepian yang tak terkatakan adalah sentuhan yang indah jika kita bekerja untuknya, dan bekerja pada keinginan untuk hidup, bahkan, dalam kemiskinan dan ketidakjelasan sekalipun; itu adalah hal yang berharga” kata Woolf.
Di dalam kamar ini
Ku bersembunyi lagi
Mereka yang kita sayangi
Yang paling mampu melukai
Pada bagian Chorus, aku semakin dekat apa itu kekosongan, kesunyian, dan cahaya-cahaya yang mengintip di balik jendela kamar; menggambarkan ketiadaan.
Di sini, ku bebas mewarnai
Dan biru, untuk rumput itu
Dan hijau, untuk langit itu
Apa saja di tempat itu
Kamar begitu sunyi sampai-sampai setiap detik yang berlalu menimbulkan perasaan bersalah karena lagu itu membuat saya teringat; bahwa hanya dirimulah yang berada di kamar gelap itu. ada kecambuk dalam lagu itu, tetapi kau masih punya kesempatan untuk bebas mewarnai. “Dan biru, untuk rumput itu. Dan hijau, untuk langit itu – Apa saja diempat itu”
Hidup bagai putaran waktu. Pada bagian Verse II, saya membayangkan jika ada peralihan rasa sakit dan titik bali – di mana semua masih seperti semula. Tapi pada kesempatan ini, oleh hal-hal yang tidak kumengerti – untuk menjadi mengerti meski semua hal yang ada di dunia ini sulit untuk dimengerti. Apapun yang kita terima dalam hidup, rayakan!
Meski dalam catatan ini, butuh 2 tahun untuk menuliskannya.