Aku sering kali membayangkan kota yang kutinggali hanya menyisakan sebuah kenangan, sepanjang jalan Malioboro yang setiap malam ramai pengunjung, kini ditinggalkan hanya menyisakan puing-puing bangunan yang runtuh, hanya terdengar lolongan anjing liar mencari mangsa, bangunan-bangunan megah apartemen-mall-keraton yang dahulu menjadi lambang kejayaan kapitalis, kini hanya menjadi bayang-bayang beton yang terlunta-lunta, lampu-lampu menghiasi setiap malam, kini hanya ada gelap gulita dalam kehampaan malam, tak ada lagi bangunan layak huni. Kota Jogja sudah seperti dalam film-film pasca-apokaliptik.
Ruang terbuka hijau yang seharusnya diisi oleh berbagai hewan dan tumbuhan, kini sudah berganti rupa menjadi bangunan tinggi menjulang menuju langit, air sudah sulit ditemukan karena pengerukan tambang oleh pemerintah. Krisis iklim sudah mencapai titik finalnya.
Manusia yang masih hidup terbagi menjadi beberapa faksi kelompok kecil, membangun tempat perlindungan ala kadarnya, bergantung pada keterampilan bertahan hidup (survival), mengumpulkan makanan dari alam yang sudah berubah. Seringkali terjadi perebutan sumber daya antar kelompok, membunuh atau dibunuh sudah menjadi umum.
Sedangkan bagi otoritas tertinggi (Pemerintah, elit politik, militer) hidup dalam bangunan megah, kontrol penuh terhadap setiap individu, eksploitasi sumber daya seenaknya, patroli militer menjaga ketertiban dengan kekerasan dan intimidasi, media hanya berisikan propaganda mendukung rezim berkuasa, tak ayal bila ada narasi kritik akan langsung dicekal dan dipenjara, hanya menyisakan kebenaran yang dipilih dan disajikan sesuai dengan kepentingan penguasa. Seperti Buku 1984 karya George Orwell
Mungkin kita tidak perlu membayangkan rasanya kiamat akan terjadi akibat hadirnya kapitalis atau negara. Sebelum semua itu terjadi, kita sudah mengalami kegagalan yang menghancurkan kita hingga berkeping-keping. Entah itu, pada diriku sendiri atau dirimu.
Aku bekerja yang di salah satu pabrik menghabiskan waktu sepuluh jam, seringkali lembur yang hanya mendapatkan gaji tidak seberapa. Aku sudah terlalu lelah, aku sudah terlalu depresi, dan tidak ada yang peduli padaku sendiri. Apalagi majikanku itu, mereka tidak peduli sama sekali, mereka hanya ingin keringatku, lelahku, dan hasil kerja kerasku. Layaknya seperti babi memakan sampah secara rakus.
Menurutku hari demi hari yang kita jalani akan selalu sama saja. Terbangun dari tidur, bekerja dengan gaji rendah, mendatangi psikiater, lalu kembali tidur. Semua itu akan terulang terus-menerus hingga saatnya aku mati atau bunuh diri.
Terkadang aku selalu terpikir, apa memang kita bisa menang melawan semua itu? Entahlah, aku pun sering mempertanyakan segala yang terjadi pada kepalaku sendiri “dunia yang selalu kita impikan (utopis) tak akan pernah terwujud”.
Disaat kebanyakan orang memimpikan dunia utopis. Sullen unit yang mengaku sebagai Post-Harcore Dystopia berasal dari Cianjur, hadir menemani orang-orang gagal, pesimis, putus asa, muak atas dunia yang semakin kapitalistik. Terbentuk pada tahun lalu tepatnya Maret 2023 dengan beranggotakan Fahmi (Vocal), Iqmal (Guitar/Vocal), Zuhal (Guitar), Agung (Bass), Rafdi (drum). Lagu-lagu Sullen terinspirasi oleh band-band dengan aliran yang sama, seperti La Dispute, Fiddlehead, Have Heart, Clear.
Terbentuknya Sullen berawal dari kecintaan dan kemuakan kepada hidup yang terus menerus semakin beringas di era dunia kapitalistik, penyambutan akan kehancuran dunia atas keserakahan manusia yang kian terasa. Ambisi melakukan tindakan bunuh diri semakin dekat bagai sebilah pedang termenung di tenggorokan. Hingga pada akhirnya Sullen memutuskan untuk melakukan tindakan membunuh dirinya sendiri melalui lirik-lirik yang ia diciptakan. Sullen menyadari sebelum tibanya kiamat, mereka sudah merasakan dunia hancur berkeping-keping meratakan mimpi yang selalu didambakan. Dengan media musik Sullen menikmati-merayakan-menjalani hidup dan berharap bertahan atas segala kemuakan yang terjadi sembari menunggu tibanya dunia luluh lantak.
Saat ini Sullen sudah merilis empat single berjudul Pagi Kelam, Don’t Believe It!, Pesimistik, Anxiety. Namun baru dua single saja yang dapat didengarkan pada platfrom digital, yaitu Pagi Kelam dan Don’t Believe It!.
Sullen berencana mengadakan showcase pada akhir bulan Mei 2024 bertajuk “Dystopia!” menyambut kehancuran dunia sembari mengenalkan EP mereka.
Sebelum terbentuknya Sullen. Fahmi selaku vokalis pernah mendekam dalam penjara dan menuliskan kebusukan negara dibalik jeruji besi. Dihukum delapan bulan akibat pembakaran dan pengrusakan properti di Cianjur. Pada tanggal 13 Desember 2022, Fahmi dan beberapa kawannya melakukan tindakan protes dengan melakukan pembakaran mall melempar tiga buah kardus berisikan molotov. Membakar bagian lobby, atap tengah dan pos satpam bagian belakang. Semua kemuakan ini terjadi akibat dampak yang merugikan dari hadirnya pembangunan mall; air bersih bawah tanah terkuras kering, polusi udara jangka panjang, dan polusi suara yang tak henti-hentinya selesai.
PAGI KELAM
Pagi Kelam berdurasi 03.10 menit dan dirilis pada 24 Desember 2023. Menghadirkan pesan mendalam tentang pengalaman manusia dalam menghadapi kesedihan dan kehidupan di tengah kekacauan dunia kapitalistik yang komplek. Single “Pagi Kelam” tidak hanya ungkapan perasaan individu, jauh lebih dari itu mencerminkan perasaan universal yang sudah pasti dirasakan oleh banyak orang di era saat ini.
Merenungkan makna cinta mendalam dalam berbagai bentuk, entah itu dari kebahagiaan hingga kesedihan, dari patah hati hingga rasa traumatis. Segala aspek kehidupan manusia dihadirkan sebagai bagian dari perjalanan cinta yang tragis. Manusia seringkali menganggap kesedihan sebagai momok memalukan, namun nyatanya kesedihan yang kita alami merupakan perjalanan cinta itu sendiri, dan air mata sebagai kenikmatan yang layak kita rayakan, kesedihan merupakan hal yang alami dari kehidupan manusia, menghargai segala emosi yang dirasakan, entah itu senang maupun sedih. Karena semua itu ekspresi otentik dari perasaan manusia itu sendiri.
Sendiri, Menyepi // Terasingkan diri // Sedih, Depresi // Ku telan tak henti-henti.
Penggambaran perasaan menyendiri dalam penderitaan, terisolasi di tengah keramaian, dan depresi yang dialami oleh setiap orang. Tenggelam dalam perasaan sedih dan depresi yang mendalam tanpa akhir, tak ada jalan keluar dari kegelapan yang menyelimuti.
Kau acuh, tak ada perasaanku yang kau jaga // Trauma datang, Dunia ini semakin kejam // Sadarlah, Sadarlah, Waktu terus tetap berjalan // Aku tetap sendiri ditengah RAMAI!
Perasaan terabaikan dan terlupakan, serta kesadaran atas kekejaman dunia semakin tak terhindarkan. Rasa traumatis yang dialami mungkin disebabkan dari berbagai peristiwa atau pengalaman dalam hidup. Menyadari waktu terus berjalan tanpa henti, meskipun kita terjebak sendiri ditengah keramaian dalam arus suci bernama kehidupan.
Pada akhirnya kita harus terbangun dari tidur, menangisi dan menyadari kenyataan dalam pagi yang kelam, bekerja dengan jam kerja yang padat, gaji rendah, biaya hidup mahal, pendidikan tidak pernah gratis, percintaan yang dituntut seperti di film-film, hingga kita harus bertahan hidup dari dunia yang bobrok adalah bentuk cinta yang paling liar.
DON’T BELIEVE IT!
Skeptis dan tidak percaya terhadap negara yang telah mengganggu ketenangan kehidupan manusia, merusak segala hubungan sosial, menghancurkan segala kebaikan. Single kedua “Don’t Believe it!” berdurasi 03.15 menit dan dirilis pada 29 Februari 2024. Don’t Believe it! representasi gambaran kehidupan sebenarnya di tengah cinta dunia kapitalistik. Kekuasaan dan sistem kapitalis saat ini mempengaruhi kehidupan sosial, bahkan merusak hubungan asmara antar kekasih.
Romantisme berlebihan, sukaria bahagia dan gambaran indah dari kehidupan seringkali dijumpai dalam puisi atau sastra, segala hal tentang keindahan dan kebahagian hanyalah fantasi semata, pada kenyataanya keindahan hanya digunakan sebagai pelarian untuk menghibur diri tanpa menghadapi buah busuk kehidupan.
Sebelum semua itu terjadi. Hari dimana Fahmi mendekam dalam dinginya penjara, menuliskan keputusasaannya dalam bait bait puisi berjudul “Obituari”. Puisi tidak hanya hadir melalui kata-kata, ia hadir bersama tindakan dan kata-kata, mimpi yang selalu kita dambakan tidak akan pernah tiba hingga sisa-sisa semangat menunggu kematian tiba.
Don’t Believe It! tercipta karena kekecewaan-kemuakan-ketidakpercayaan kepada hidup yang terkekang kapitalis. Ketidakpercayaan terhadap kehidupan menjadi bensin penguat dalam menelusuri gelapnya dunia dan kita sendirilah yang putih tanpa harapan, tanpa kasih.
(don’t believe it) // to friends who defy authority // in our utopian dreams, darling (don’t believe it) // and along with a dystopian burning // yeah, don’t believe it! (don’t believe it)
Mengekspresikan sikap anti otoritarian atas norma-norma yang ada, serta mempertanyakan keyakinan impian utopian, serta memberikan dukungan serta pesan terhadap kawan-kawan yang menentang menolak otoritas kekuasaan negara. Impian dan harapan akan dunia yang sempurna namun semua itu tidak sesuai dengan kenyataan dan ketidakpercayaan terhadap segala yang ada, entah itu impian utopia maupun realitas dystopia.
Do we make it happen? // Even though we always lose (don’t believe it) // Inherently loved wild // Crossed out in every prose // Fellow people who struggle // (don’t believe it)
Seringkali kita mempertanyakan tentang apakah kita mampu berjuang namun yang pada akhirnya kita tetap akan kalah. “Do we make it happen?” mempertanyakan kembali dan merenungkan apakah kita mampu mewujudkan perubahan itu, meskipun kekalahan pasti akan terjadi. “Inherently loved wild // crossed out in every prose” keadaan ilmiah dalam setiap individu yang penuh cinta seringkali diabaikan atau dilupakan dalam setiap narasi yang ada. menyebutkan “fellow people who struggle”, menunjukkan solidaritas dengan orang-orang yang juga berjuang dalam kehidupan.
Dengan kembali mengulang frasa “(don’t believe it)” secara terus menerus di akhir setiap penggalan lirik. Kita tidak dapat mempercayai siapapun dan segala apapun itu, hanya ketidakpercayaan saja lah yang mampu kita percayai, membuat kita hidup atau menemukan cinta sejati di tengah berjalannya kehancuran dunia.
Hingga pada akhirnya kita harus mencintai segala kegagalan yang kita alami dalam hidup, merayakan setiap harinya dengan perayaan kecil-kecilan bersama kawan, merayakan hidup yang dipenuhi kesedihan, kesendirian, dan kelelahan yang kita jalani setiap harinya.
…
@kriknaum