Hidup adalah liburan di neraka,
Selancar di derita.
Seperti pada malam-malam biasanya, Ilham terjebak di kereta antar nyawa. Sekedar menengok ke kiri saja ia kepentok muka penumpang lainnya sehingga yang bisa dilakukan hanyalah mendengar lagu-lagu Sajama Cut dengan earphone butut satu-satunya sambil meyakini bahwa lirik-lirik tersebut dibuat untuk dirinya.
Ilham merupakan seorang buruh kasar salah satu pabrik di Cikarang, ia bekerja 12 jam sehari terkadang juga lembur hingga larut menelannya. Dengan modal gesit dan tubuh ramping ia cukup ahli untuk menyalip antrian tangga stasiun yang menumpuk ataupun berdiri di depan pintu kereta saat sumpek menyapa harinya.
“Udah siap-siap lebih awal, sarapan aja ngga aku makan. Eh, masih aja harus ngerasain pepet-pepetan gini. Asu,” keluhannya setiap berangkat kerja.
Dengan gaji bulanan di bawah rata-rata dan tagihan yang menghantuinya tiap jam, Ilham terpaksa harus mencari kerja serabutan dari menjadi joki three in one sampai menjaga warung makan di akhir pekan ia lakukan, demi membiayai hidup orang tuanya dan jika ada sisa digunakan untuk membeli ciu pada akhir bulan agar tetap waras menjalani hari yang mencekik hidupnya.
“Gaji gak seberapa harus dipotong buat kasih orang tua, bayar wifi yang dua bulan telat bayar, belum lagi bantu bayar biaya sekolah adikku, dan sekarang dipotong tiga persen buat Tapera sialan,” keluhnya saat ngobrol dengan kawan senasib di waktu senggang.
Jumat ini dirinya dapat pulang cepat tanpa harus lembur hingga larut, selepas adzan isya ia lekas menuju stasiun kereta dan tak lupa menyiapkan kuda-kuda agar kuat menghadapi gerbong yang diisi jeritan anak kecil ataupun para lansia yang memasang muka melas agar penumpang lain merasa iba supaya mereka dapat duduk.
Sekitar jam 10-an ia terbebas dari kereta antar nyawa, banting tulang dari subuh hingga gelap kembali menelannya, tetapi ketika sampai rumah masih harus mendengar ocehan orang tuanya yang saling bentak karena urusan dapur dan uang jajan adiknya.
Ilham tak peduli atas kejadian tersebut karena hal itu sudah menjadi tontonan sehari-harinya, segala ruwet yang menimpanya bak sarapan serta makan malamnya, bangun lebih awal dan istirahat jika sempat sudah menjadi rutinitasnya. Ia melakukan hal tersebut bukan secara sukarela, tetapi karena nasib buruk mengetuk hidupnya.
Jika pada akhir pekan menjemput orang seumurannya, biasanya akan dihabiskan untuk membaca buku di taman martha atau melakukan kenikmatan dengan kekasihnya hingga lupa akan kejadian pahit yang menimpanya. Namun Ilham tak sempat merasakan hal seperti itu, tiap menit ia hanya memikirkan bagaimana caranya ia dapat terus menjalankan hidup dengan segala getir yang menggerogoti dirinya.
Itulah yang terjadi oleh Ilham yang mana ia terpaksa harus jadi tulang punggung keluarga agar orang tuanya tidak bercerai dan adiknya tidak jadi gelandangan. Dari Senin sampai Jumat ia habiskan untuk bekerja, Sabtu dan Minggu juga masih mencari serabutan serta melakukan pekerjaan rumah untuk membantu orang tuanya.
Hingga pada suatu saat ia tak lagi kuat menampung beban di pundaknya, pada pukul lima saat orang pulang kerja ia menuju stasiun kereta, tetapi bukan kantor atau tempat kenikmatan yang ingin ditujunya melainkan bersalaman dengan ajalnya. Sehingga saat adzan maghrib berkumandang sudah banyak wartawan berdatangan ke tempat kejadian dan disaat itu pula beberapa petugas sedang mencari potongan-potongan tubuh dan amarah yang berceceran darinya.
Ditulis oleh:
Bintang Prakasa,