Saya merasa terjebak dalam penjara di dunia ini. Yang kurasakan sekarang hanyalah hawa kematian berada di sekeliling saya. Kulihat manusia-manusia yang sudah mulai kehilangan minat, nampak lesu, mengeluh, atau melemparkan kelakar yang menertawakan nasib mereka yang trengginas. Ya, salah satu cara untuk menerima keadaan untuk saat ini adalah dengan cara menertawakan diri sendiri. Sebenarnya aku selalu berfikir untuk mati muda, entah karena kecelakaan lalu lintas, atau karena bunuh diri; atau sebenarnya saya sudah mati, dan yang beraktifitas sekarang hanya arwah saya saja. Jika itu masuk akal, mungkin saja yang mati adalah semua harapan dan angan-angan yang dibangun begitu rupanya runtuh begitu saja bak menara Babel. Saya masih bisa bernafas, pernah mencoba untuk meraba dada sendiri, detaknya masih berjalan (oh, aku masih hidup). Namun hawa kematian itu selalu semakin terasa dengan bertambahnya usia dan perjalanan-perjalan pahit yang kurasakan.
Sungguh tidak menarik membicarakan kematian, itu adalah hal yang selalu ingin dihindari setiap orang. Manusia terlalu pengecut untuk mengakui bahwa mereka tidak abadi, lalu mencari pelarian dengan doktrin keilahian bahwa setelah kematian, ada dunia baru yang kekal dan penuh kebahagiaan, tidak seperti di dunia ini sekarang; walau kadang mereka ragu dengan pilihan tau pemikiran itu. Lagi pula, apa bedanya rasa anggur di dunia dan di surga?
Usai patah hati yang baru saja kurasakan, aku seperti mati rasa; aku seperti mengalami kelumpuhan otak—ragu akan eksistensi diri sendiri. Niatku untuk mati juga semakin bulat, mungkin karena beberapa hari ini aku sedang banyak membaca karya-karya sastra penulis nihilis atau anime yang beraura kegelapan.Hidup ini seperti misteri, aku bahkan tidak tahu apa-apa dengan apa yang terjadi sekarang, aku hanya merasa bahwa pasak sudah ditambatkan; dan ini sudah takdirku; tidak bisa dihindari lagi; yang bisa dilakukan untuk saat ini ya hanya berusaha menerimanya. Tidak, saya bukan Nietzsche dengan amorfati-nya, saya tidak mencintai takdir ini, saya hanya menerima kenelangsaan dan menstimulunnya sebagai sebuah hasrat yang membual dan penuh kearoganan.
Lalu bagaimana dengan bunuh diri? Aku masih belum berani melakukannya untuk sekarang, walau sebenarnya untuk saat ini saya tergila-gila dengan Dazai; tapi tidak, tidak untuk saat ini. Aku tidak ingin jasadku terlalu kotor, dengan banyaknya utang dan tanggung jawab saya kepada ibu saya yang seorang janda dengan dua adik tolol lelaki saya. Mungkin harus kutunda dulu. Jadi teringat penggalan lirik lagu milik kawanku, “apa arti bunuh diri jika aku bisa mati setiap saat”. Sebelumnya aku juga usai berbicara dengan kawan virtualku dari Jepang mengenai bunuh diri; dan jawabannya hampir sama dengan penggalan lirik tadi. Jadi yang kulakukan untuk sekarang hanyalah terus melanjutkan hidup sambil memaki kehidupan imi, dan bersembunyi dibalik kata-kata “ngene tog wes cukup”. Bajingan!!!!
Kembali ku teringat denganmu bunga krisanku, menjadi hal yang memilukan ketika melihat barang-barang peninggalanmu atau tempat yang pernah kita kunjungi atau lewati; semua mendadak menjadi emosional. Atau apakah aku harus mencoba hal atau hobi baru untuk melupakannya, setidaknya jika tidak bisa cukup dengan merelakannya. Mungkin aku bisa mulai menanam sakura, atau lily, tapi itu sukar untuk dilakukan, butuh ketelatenan dan bila boleh jujur, aku tidak suka merawat tanaman. Anna kareninaku, aku melihat kau begitu bahagia dengan lelaki barumu, dan orang tuamu juga sangat senang dengan kehadirannya, tidak seperti diriku yang kotor ini—manusia asing,hina,dan sangat menyimpang dengan kultur keluargamu yang bermartabat itu. Tidak pantas untukku terus menangisi hal-hal yang sudah terjadi. Tapi yang pasti, kau telah berhasil membunuhku; dan aku akan menjadi pribadi yang berbeda. Untuk menghindari kenelangsaan ini, aku harus cepat beranjak dari pulau Jawa ini, mungkin ke Sumatra atau Kalimantan, katanya di sana adalah tempat yang bagus untuk orang yang sedang mengalami patah hati. Jawa begitu menyesakkan hari-hari ini, dan kota ini mulai asing padaku. Aku dihinggapi rasa penuh dengan kehampaan, hatiku menjadi gelap dan kadang aku suka mengigau di tengah malam.
Angin malam berhembus dengan lirih, suara genteng berderik, dan dahan pohon yang mengibas kesana kemari. Tidak ada perayaan untuk kematian di malam ini.
Taki 13