RIOTKLAB
RK TO DEATH
Lelaki Malang
Categories: General

Aku tidak terlalu pandai dalam mengglorifikasi rasa sakit karena patah hati. Namun rasanya perlu kubagikan cerita ini kepada kalian.
Aku menyebutnya sebuah tragedi. Tragedi yang sangat memilukan; dan sangat sulit kulupakan hingga sekarang. Aku masih ingat bagaimana matanya berlinang usai berjabat tangan denganku.
Aku sudah lupa, berapa botol yang sudah kutenggak untuk bisa menguatkan mental menghadiri acara resepsi itu. Resepsi seseorang yang kucintai, seseorang yang pernah menjalin tali kasih bersamaku, seseorang yang selalu menjadi kawan bertukar puisi, lalu tiba-tiba sekarang dia bersanding dengan orang lain.
Orang asing yang tiba-tiba hadir lalu merebutnya dariku. Bermodalkan kekuasaan dan harta, dengan mudahnya ia merebut perempuan yang sudah kuperjuangkan selama bertahun-tahun. Sungguh, ini licik, picik, taik.

Pada umumnya pondok pesantren, kegiatan belajar mengajar berjalan seperti biasannya. Tiada waktu untuk bersenang-senang, masa menempuh pendidikan di pesantren adalah bagaimana cara kita bisa memanfaatkan waktu sebanyak-banyak untuk belajar, yang kelak ilmunya bisa bermanfaat untuk dunia dan akhirat.

akhirat.
Pondok pesantren kami berdiri di sebuah kecamatan kecil di pojokan kabupaten Tuban. Dalam sistem pengajarannya, sudah menerapkan semangat modernitas, tapi yang pasti ilmu agama masih menjadi prioritas.
Hidup menjadi santri bukan semata-mata pilihanku.
Ini semua karena keinginan ibu, yang berkeinginan aku kelak akan menjadi orang yang alim dan menjadi panutan keluargaku kelak. Selain ada harapan lain seperti aku dielu-elukan akan menjadi penerus– pengurusan masjid di desa.
Sungguh harapan yang bisa dimaklumi, jika melihat banyak kawan sebayaku yang lebih banyak memilih belajar di sekolah umum atau putus sekolah untuk merantau ke kota besar sebagai kuli bangunan. Belum lagi kekhawatiran dengan pergaulan mereka yang hobi mabuk-mabukan dan balap liar.
Namun bagiku sendiri itu terlalu berat sebagai remaja yang masih ingin bersenang-senang dan merasakan kebebasan seperti anak seusiaku pada umumnya, tidak terbelenggu dalam sistem pendidikan yang ketat nan feodalis seperti ini. Mungkin aku tidak menyukai motor atau balap liar seperti kawan-kawanku di kampung. Aku lebih menyukai musik, terutama musik yang bernafaskan pemberontakan. Demi melampiaskan kesukaanku pada musik, berulang kali aku kabur dari pondok untuk sekedar menghadiri acara gigs di gedung kecamatan atau bahkan

menghadiri acara gigs di gedung kecamatan atau bahkan luar kota bermodalkan nekat dan mencegat dari truk satu ke truk lainnya. Dan aku melakukannya dengan gairah, berharap bisa menatap langsung sang idola bernyanyi
di atas panggung. Sebuah capaian yang setimpal jika sampai-sampai kejadian kepala dibotak oleh pengurus karena kabur dari pondok.
Tapi dari sekian perbedaanku dengan kawan-kawan selain soal pendidikan dan motor, semua itu bisa ditutupi dengan kegemaran kami mengkonsumsi arak atau tuak. Kami bisa mabuk di mana saja, di pos ronda; depan toko cina; trotoar jalan; warung kopi; di mana pun’ itu selama lokasinya nyaman. Jadi bukan suatu hal yang aneh jika setiap malam hari raya kami berkumpul mabuk sampai teler, dan paginya berjalan terhuyung-huyung untuk menunaikan salat ied.

Walau terkenal banal, namun diriku memiliki kepintaran
di atas rata-rata, jadi diriku sering dikirim menjadi perwakilan pondok untuk mengikuti kejuaraan di
kota kabupaten. Dari lomba itulah aku dipertemukan dengannya. Ceritanya kami akan dilombakan untuk melakoni cerita cinta Roro anteng dan Joko Seger. Mungkin disitulah benih cinta mulai muncul. Banyak kawan yang menjodoh-jodohkan kami dan akhirnya itu keterusan sampai kami jadian.
Sungguh awal kisah yang berkesan, namun berujung tragis.

tragis.

Langit menggelayut, awan berarak, dan mulai menggelap. Di taman yang remang, dia hanya menunduk lesu sambil terisak. Masih teringat kalimat perpisahan darinya, “Jangan mencari aku lagi.” Aku hanya bisa menarik nafas panjang, menghidupkan rokok dan lebih banyak diam.
Pikiran melayang tentang bagaimana ratusan kilo kulakukan untuk menemuinya demi mengucapkan selamat ulang tahun di pinggir jalan yang membelah pematang sawah. Bisa kubayangkan teriknya matahari siang itu tidak berkutik menghadapi dua manusia yang sedang kasmaran. Masih kuingat juga bagaimana kusiasiakan beasiswa menempuh pendidikan di ibukota hanya
demi untuk terus bersamanya. Sudahlah, aku malah mengungkit pilihan-pilihan yang seharusnya kulakukan dengan tulus.

“Kenapa kau tidak menolaknya?”
“Aku tidak punya pilihan” masih terisak.
“Disuatu hal yang segenting ini kau tidak berani memilih hal yang sangat berpengaruh untuk masa depanmu?” “Aku hanya wanita mas”
“Apakah aku hanya lelaki yang harus pasrah dik?”
Tidak ada lagi pembicaraan. …

Semerbak udara berdebu mencekat tenggorokanku. Ini sudah dua tahun berlalu, tapi ketika aku mengingatnya mengapa begitu sesak dan ini sangat mempengaruhi psikologisku. Aku memgakui sudah tidak mencintainya, hanya mengenang saja. Cukup.
Perjodohan atau yang disebut kawan-kawan kuliahku sebagai pelacuran legal adalah hal-hal yang masih dipertahan masyarakat sampai sekarang, terutama masyarakat konservatif. Mungkin aku hanya bisa menertawan nasibku ini, tapi tidak tau kalau itu terjadi juga padamu.

Comments are closed.