RIOTKLAB
RK TO DEATH
Ruang & Kepuasan: Mengintip batas Emosional dalam pementasan Monolog
Categories: General

Saat saya datang, seorang gadis dengan riasan putih mencolok; menatap cermin dengan berbagai properti di atas meja seperti sisir, bunga mawar, alat make up, dan mainan laki-laki. Didepan cermin kerap kali ia menjatuhkan barang-barang disekitarnya dengan perasaan curiga dan juga takut. Ia bahkan lebih banyak melihat sekitarnya ketimbang kembali bercermin. Saat perasaan takut memuncak, ia berteriak, “Aku tidak suka Biru”. berteriak berulang kali. Nampaknya, itulah klimaks dari monolog tersebut.

Kita tahu, perempuan adalah korban dari represi sosial. Bagaimana dengan laki-laki? Barangkali pertunjukan Ruang & Kepuasan punya jawaban alternatif yang menarik untuk dilihat.

Untuk kedua kalinya Art Movement Malang menggelar event kolaborasi antara Teater dan bidang kesenian lain setelah 18-19 Februari 2023 lalu menyelenggarakan tajuk Sexo : Dharmārthakāma. Hangat suasana yang dialihwahanakan oleh 2 aktor dan aktris serta 8 para pelukis maupun perupa yang diselenggarakan di Gedung Serbaguna Tunjungsekar lalu telah
menjadi rangkaian yang cukup sukses karena memuat sejumlah ajaran kitab Smerti dengan 511 sloka (ayat) tentang moral dan etika. Kitab ini ditulis pada dua bahasa yaitu sansekerta dan juga bahasa Jawa Kuno (Kawi).

Dharmārthakāma diambil dari Dharma (ajaran), artha (harta), kama (seks), mempunyai arti Insan lekat dengan ajaran, sempoyongan menuju harta, dan memimpikan kepuasan tanpa batas.

Pada kesempatan ini (12/8), tanpa menghubungkan Pementasan seni sebelumnya. Giandra Febryian dkk mengusung konsep baru akan tema yang lebih spesifik yaitu “Ruang & Kepuasan” yang diselenggarakan di Flava Café – yang naskahnya ditulis oleh Harits Rendika. Alih-alih membutuhkan ruang seni dengan berbagai fasilitas – para penonton diajak untuk menyelami ruang tanpa perubahan dekorasi apapun. Hanya ada lighting/ lampu dan juga kain yang mengikat di sudut tempat para penampil.

Bila kita mengingat-ingat tajuk pementasan teater Monolog, tata panggung membantu pagelaran teater untuk menghidupkan latar cerita. Namun, Giandra menegaskan Pementasan nya mengambil referensi Site-spesific theatre. Lalu apa yang membedakan dengan pementasan seni monolog lainnya? Adalah produksi teater yang dipentaskan di lokasi yang unik dan diadaptasi secara khusus diluar standar pementasan teater pada umumnya.

Dilansir dari jhuptheatre.org – sepanjang sejarah teater dan lintas budaya, seniman telah bereksperimen dengan ruang non-teater, dari commedia dell’arte (komedi Italia abad 16 & 18) yang berkeliaran di pasar dan kota-kota Italia, ke pertunjukan ritual tiga puluh hari Ramlila Ramnagar yang epik, ke prosesi meriah dari prosesi Tucson All-Souls Day. Alih-alih melihat
ruang sebagai tempat untuk membangun teater, Site-spesific theatre mengambil ruang apa adanya, tanpa perubahan besar, dan mengungkapkannya dengan cara baru melalui pertunjukan. Lokasi situs, arsitektur, tata ruang, penempatan audiens, dan tingkat partisipasi audiens
semuanya memengaruhi jenis pengalaman yang akan diterima audiens.

Galuh Berliant adalah pemeran monolog Laki-laki dalam teater ini. Ia menanyakan seluruh Laki-laki, pun, seorang penonton Perempuan. Apa iya Lelaki yang mencapai usia 25 tahun adalah Lelaki paling merugi?

“Galuh membawa penonton ke lokasi / Galuh seorang yang mengunakan kursi roda sedang ngopi. Baru saat namanya di panggil untuk menuju ke panggung, dia mulai melakukan monolog; berkeliling dan menanyakan apa aja yang di sampaikan kepada penonton > menanyakan umur (ngapain aja). Kalo aku umur 25 tahun nggak bercinta (ya rugi). Maka dari itu lelaki yang tidak bercinta sampai 25 tahun adalah ‘Lelaki Sial’…” pungkas Giandra sebagai Sutradara dalam monolog ini.

Beda dengan Galuh, pemeran utama monolog Perempuan bernama Jade Aretta mengalihwahanakan perasaan yang dialami oleh Perempuan lewat memori kolektif. tentang Perempuan yang disuruh menjadi Perempuan. ‘Aku Tidak Suka Biru’ seakan menjadi representasi jika perempuan mungkin tidak mempunyai pilihan sekalipun.

Menurut Giandra, Jade berusaha untuk bertahan dalam Represi sosial yang ada; Jade mengkritisi itu. Biru itu secara stigma masyarakat; laki-laki, makulin, jiwa pemimpin, jiwa disiplin, jiwa kokoh. Pada akhirnya, ia tidak menyukai biru; menolak warna biru memilih pink atau putih (warna netral)

“Perempuan yang disuruh. Yang menyuruh perempuan yang menjadi perempuan itu malah laki-laki – Laki laki lah yamg menciptakan perempuan ktu menjadi seperti apa. Jade mengalihwahanakan semua perasaan itu”

Wawancara mengenai ruang dan kepuasan adalah perbincangan yang memperluas pemahaman kita tentang bagaimana persepsi ruang fisik dan emosional berkaitan dengan aspek intim dalam kehidupan manusia

Sejatinya, konsep mengenai ruang dan juga ruangan itu berbeda. Bagi Giandra, ruangan itu berbentuk fisik – sementara ruang adalah batas-batas emosional.

Flava Cafe diubah menjadi pelampiasan hasrat di ruang publik.

Dalam wawancara ini, kita menjelajahi bagaimana interaksi antara manusia dan lingkungannya dapat memengaruhi persepsi, representasi, dan pengalaman seksualitas yang diterima Laki-laki dan Perempuan hingga kini. Dari makna ruang pribadi hingga ruang publik, serta cara dalam beradaptasi dan memaknai kedua ruang tersebut dalam konteks seksualitas, membuka jendela wawasan mengenai peran budaya, norma sosial, dan identitas gender dalam membentuk pandangan serta praktik seksual.

Nantikan Art Movement 3 (selanjutnya) – akan ada konsep yang tak kalah menarik dari ini.

Pewarta : Kevin Alfirdaus

Comments are closed.