Dalam keadaan setengah sadar kusandarkan kepalaku pada sebuah tembok, setelah menghabiskan satu botol bekonang pemberian kawan karena dia berharap bulan Mei akan lebih baik. Tembok yang dipenuhi wheatpaste bergambar lovehatelove dan poster muka seseorang tertutupi topeng tengkorak dengan kawat berduri melilit mulutnya sendiri. Aku seringkali melihat poster itu berbagai tempat, entah itu di tiang listrik, box listrik PLN, tembok, gerobak, bahkan di pos polisi pun ada.
Malam itu, kuhabiskan waktuku menatap seisi jalan raya, orang berlalu lalang kesana kemari, Pekerja Seks Komersial (PSK) menunggu pelanggan sembari menikmati sebatang tembakau, kakek tua berumur sekitar 70 tahun terduduk di samping gerobak yang dijadikannya rumah, anak kecil mencari nafkah mengamen di antara kerumunan orang.
Belum lama aku terduduk, aku melihat sekelompok pria berseragam abu-abu berdatangan dan salah satu di antaranya meneriakkan “pergi kalian sampah, bikin kotor kota saja!”, sembari memukul pentungan kepada kakek tua yang membawa gerobak. Seingatku, kelompok pria tersebut melakukan penertiban karena sepanjang jalan ini akan dijadikan sumbu filosofis yang menjadi warisan budaya oleh UNESCO.
Kucoba untuk mendekat, tetapi langkahku dipaksa berhenti oleh seorang ibu-ibu tua “jangan mas, nanti yang lain ikut kena juga”. Apalah daya, kuturuti keinginannya, dalam keadaan terpaksa akupun berjalan sekompoyong turut menjauhi kerumunan. Tak lama selepas kejadian itu samar terdengar sirine iring-iringan mobil hitam berplat merah, yang semakin lama semakin terdengar jelas dan nyaring di telinga. Ya, mereka orang-orang yang berasal dari Istana di ujung selatan jalan ini.
Di sepanjang jalan, aku semakin tersiksa memikirkan apa yang terjadi. Terdengar teriakan “LEMAH, PENAKUT, PENGECUT”. Aku menolehkan pandanganku menuju seisi kota, entah apa yang ingin kuburu, dan aku hanya menemukan kenyataan bahwa di sini tak ada siapapun, hanya terdengar suara lolongan anjing. Semakin malam hening perkotaan cukup terasa. Istana sudah lama memberlakukan jam malam agar kota kondusif, katanya.
Sesampainya di kost bututku, aku disambut Nalla, kucing kesayangan yang beberapa bulan lalu kupungut dari selokan sepulangku dari pekerjaan yang sangat melelahkan. Kurebahkan diri di atas kasur, terdengar kembali teriakan “LEMAH, PENAKUT, PENGECUT”. Suara itu terus-menerus menusuki segala penjuru otakku. Beberapa pil dokter sudah ada di genggamanku, Glek! Terhempaslah mereka, bergegas meluncur menuju kerongkongan dalam sekali teguk dengan dorongan segelas air keran.
“Aku terlalu lemah, aku terlalu penakut, aku terlalu pengecut”, umpatku. Aku marah kepada diriku sendiri. Apa aku salah meninggalkan mereka? Apa hanya aku yang mengalaminya? Kepalaku kian memberat dan terus-terusan mengucapkan sumpah serapahnya. Hingga pada suatu titik, akulah yang mengumpat, kiamat segeralah tiba!
…
Pada akhirnya hidupku hanya akan diperkosa kehidupan, diperkosa negara, diperkosa kapitalis, diperkosa istana.
Aku bekerja di salah satu pabrik menghabiskan waktu 8 jam, seringkali lembur sekadar untuk mendapatkan gaji yang tidak seberapa. Aku terlalu lelah, aku terlalu stress, namun tidak ada satupun yang peduli. Apalagi majikanku itu, mana pernah mereka peduli? Mereka hanya ingin keringatku, lelahku, dan hasil kerja kerasku. Layaknya babi yang mengganyem sampah-sampah secara rakus.
Beberapa hari lagi bulan 1 Mei akan tiba, orang-orang akan menyambut Mayday. Namun setelah itu, tentunya Mei akan diikuti dengan hari dan tanggal-tanggal berikutnya, termasuk hari di mana aku dilahirkan, sebuah prosesi sakral menuju palung terdalam kehidupan yang suram nan kelam.
Mungkin bagi sebagian orang hari kelahiran hari yang ditunggu-tunggu, upload story instagram ber-caption sepositif mungkin, perayaan kecil bersama keluarga, kue tart dihias sedemikian rupa dengan lilin dan cream atau fondan warna-warni yang berbalut kebahagiaan. Tak luput doa-doa yang diterbangkan ke langit agar hari demi hari berjalan berjalan lebih baik dari sebelumnya. Tetapi aku sudah terlalu lelah dengan 9 Mei, di hari itu aku harus tetap bekerja, berikut dengan gaji kecil khas kotaku sendiri.
Aku malas dengan perayaan. Menurutku hari demi hari yang kita jalani akan selalu sama saja. Terbangun dari tidur, bekerja demi upah rendah, datang ke psikiater agar bisa memejamkan mata kembali. Semua itu hanyalah repetisi, hingga pada saatnya aku akan berakhir mati. Tapi tak apa, aku mungkin perlu ikut-ikutan mensyukurinya sesekali, meskipun hanya kecil-kecilan. Merayakan hidup sebagai aku sekaligus kelas pekerja yang kerap dipenuhi kesedihan, kesendirian, dan kelelahan setiap harinya, bersama persekawananku. Lalu, sebuah pertanyaan kembali muncul ke permukaan pikiran, aku menulis sampah-sampah ini untuk apa? Yang kutahu, aku hanya sekadar ingin menuliskan ketakutanku pada hari yang akan datang pada hari kelahiranku. Tidak ada yang berubah sama sekali. Pada akhirnya aku atau kamu harus tetap merayakan hari-hari yang menyebalkan.
Peluk hangat bagi mereka yang berjuang
Peluk hangat bagi mereka yang bekerja untuk keluarga
Peluk hangat bagi mereka yang ditindas negara
Peluk hangat bagi mereka yang berteman dengan kesendirian
Peluk hangat bagi mereka yang menjalani kehidupan
Dan yang terakhir,
Peluk hangat untuk dirimu sendiri
Happy Mayday dan selamat ulang tahun untuk dirimu sendiri.
…
Ditulis oleh: @kriknaum
Editor: @zeilianaar