RIOTKLAB
BRING BACK OUR MEDIA!
Obrolan Spesial bersama Randy L. Virgiawan a.k.a Randy KMPL
Categories: General

Mungkin ini sudah waktunya untuk saya mewawancarai Randy Levin Virgiawan aka KMPL. Pertemuan saya dengan Kempel adalah sebuah ketidaksengajaan ketika saya mampir main ke studio Atlesta. Disela becandaan, ada seorang pria agak berisi dengan rambut kribo dan kumis lelenya yang menjuntai itu. Sontak kawanku mengenalkan dan dengan organiknya kami bercuap-cuap sampah tentang musik dan perkirian duniawi.

Lalu saya mulai aktif mengikuti Peka Zine yang dia garap dengan beberapa kawan, dan beruntungnya saya sempat bersumbangsih untuk mengirim tulisan interview saya dengan Pangalo! sebelum Peka Zine mulai menghilang dari lini masa dan berganti wujud menjadi Terpapar! Musik.

Sebenarnya saya tidak kenal-kenal amat dengan sosok virgoan ini. Hanya aktif sedikit celometan disetiap postingan Twitternya (sekarang menjadi X) yang seperkian detik muncul di TL saya. Mau mengaku teman pun segan, wong saya hanya remah-remah di kehidupan ini. Lagian Kempel pernah berstatement, kalo “kalian jangan nganggap saya temen dekat kalo Nomor WA kalian belum ku-save”. Kurang lebih itu yang kutangkap HA.

Lagian jarak usia juga yang mempengaruhi. Ingat, Asian Value. Berhubung saya lebih sering main X, dan lebih banyak yang muncul seberan cuitan dari Kempel, jadi sedikit kurang lebihnya itu cukup mempengaruhi saya. Lagian diantara kelakarnya tentang musik dan kehidupan, ada banyak informasi positif yang kudapat.

Saya tidak peduli interview ini akan dibaca atau tidak oleh kalian, toh ini spesial interview untuk bersenang-senang dan mengisi postingan RiotKlab saja. So jadi, silahkan nikmati segmen ini.

 

Minta biografi singkat Kempel/KMPL.

Manusia biasa yang dianugerahi seorang bapak dengan selera musik yang cukup oke. Sejak kecil, ia sudah dijejali dengan berbagai macam musik: mulai dari Scorpions, Bon Jovi, Rod Stewart, sampai Didi Kempot.

Namun, moment of truth-nya muncul ketika ia menemukan Yes, King Crimson, dan Jeff Buckley. Oh, dan juga Sagita dengan “Ngamen”-nya, yang menyelamatkan dirinya dari fase emo-emo’an.

Setelah sempat nyemplung ke dunia band-band’an, menulis zine musik kampus, dan ikut serta dalam publisitas beberapa band, sekarang ia mantap menjalani hidup sebagai manusia biasa yang mencintai musik, sambil mengasuh akun musiknya, Terpapar! Musik.

Ia dipanggil “Kempel” karena, lha lapo gak?

 

Seberapa jauh anda memaknai musik?

Music is my life (Azeeekkk!)

Eh, tapi bener lho. Kalo gak ada musik, aku sekarang paling compang-camping, hahaha. Soalnya kerjaanku pasti berkelindan dengan barang fana yang sama-sama kita cinta ini. Haha.

 

Anda adalah seorang jebolan sastra Inggris, seberapa jauh sastra mempengaruhi anda dalam menilai musik dan menulis musik?

Kuliah, secara umum, mengajariku untuk berpikir runut dan argumentatif. Aku jadi harus punya dasar yang kuat dalam menyampaikan sesuatu; nggak bisa asal memvonis bahwa sesuatu itu A atau B tanpa alasan yang jelas. Itu yang paling utama.

 

Selain itu, kuliah juga memaksaku untuk gemar membaca dan membedah bacaan. Apalagi karena aku mengambil jurusan Sastra, di mana aku harus terbiasa terpapar dengan berbagai literatur. Membaca karya-karya Ernest Hemingway atau Edgar Allan Poe, misalnya, bukan cuma soal keinginan, tapi kewajiban. Dan setelah itu, aku harus membongkar karya-karya mereka dari berbagai sudut pandang; baik secara intrinsik, ekstrinsik, dan lainnya.

 

Hal ini membuatku melihat musik, atau beragam karya lain, sebagai produk budaya yang kompleks, alih-alih sekadar sarana hiburan. Begitu.

 

 

Anda aktif sebagai seorang jurnalis musik, bagaimana ruang gerak jurnalisme musik saat ini. Mengingat jurnalisme musik juga harus mengikuti perkembangan jaman?

Pertanyaan klasik-nya adalah: “Apakah kita masih butuh jurnalisme musik?”

Misal, apakah reviu musik masih mempunyai daya opinion-making atau setidaknya merekomendasikan musik baru (yang hopefully bagus)? Dan jika goal-nya memang kedua tadi, apakah text-based review masih efektif bila dibandingkan dengan content-based review (short video, misalnya)? Bentuk-bentuk ini, kan, dulu gak pernah terbayangkan di zaman Rolling Stone Indonesia masih berjaya.

Atau ternyata kita gak usah susah-susah membuat reviu dan menyerah saja pada viralitas TikTok dan/atau kurator playlist DSP? Hahaha.

Pertanyaan ini sebenarnya juga berlaku lintas sektoral, gak cuma soal konsumen atau pendengar musik. Ini juga menyangkut orang-orang yang mengabdikan diri mereka di dunia ini. Contohnya kamu, Wo, penulis musik atau awak media, apakah semua yang kamu tulis dan laporkan sudah memberikan kepuasan yang setimpal? Apakah itu dalam bentuk kepuasan pribadi, aktualisasi diri, atau hubungan interpersonal?

Dan kita bahkan belum bicara soal ekonomi, ya. Hehe.

Anyway, aku lebih suka menganggap diri saya sebagai “Penulis Musik”. Gak tahu ya, saya gak pede disebut “jurnalis” karena faktanya saya gak bekerja profesional di sana. Haha.

 

 

 

 

Ahhh, rasanya terlalu banyak bidang yang anda geluti di musik. Tidak hanya di atas panggung, tapi juga di luar. Mungkin ada beberapa pertanyaan sih. Tips membuat record lebel independent seperti mengelola dan semacamnya sesuai pengalaman anda?

Pertanyaannya diganti saja: Kenapa sebuah artist/band harus ikut record label?

Distribusi? Kamu bisa daftar akun ke aggregator sendiri. Cukup modal PayPal dan kartu kredit (atau bahkan GoPay), dan selesai! Kamu sudah punya dashboard lengkap dengan transparansi data di dalamnya. Marketing dan promosi? Selama ada TikTok, Instagram, dan kejelian dalam memahami diri serta musikmu, kita bisa mengendalikan semuanya sendiri. Banyak contoh sukses yang membuktikan ini. Advance payment? Itu sebenarnya bisa diibaratkan hutang, yang sering kali mengharuskan kamu menyerahkan kepemilikan asetmu. Baik sebagian maupun seluruhnya.

Namun, satu hal yang menurutku masih membuat record label tetap relevan adalah Artist Development, di mana label memikirkan hal-hal detail terkait perkembangan karier artistnya. Label bisa menjadi semacam “Konco Ngomong”-nya artis.’’ Selain itu? Mungkin lebih soal prestige aja. Pengakuan, badge, lencana simbolik karena udah dinotis sama label tertentu– terutama yang beken di niche-nya.

Nggak ada yang salah, kok. Setiap kita punya keinginan dan kebutuhan masing-masing dalam menentukan kariernya.

 

 

 

Anda selalu menegaskan begitu pentingnya legalitas akan hak cipta. Bahkan anda membahasnya dalam sebuah feed panjang di akun X anda, sampai disematkan pulak. Emang setidak sadar itukah pelaku musik sekarang tentang pentingnya Hak Cipta?

Benar. Pada titik “sadar” saja, kita masih banyak yang belum.

Nggak usah bicara hal-hal teknis, sesederhana logika bahwa kalau kamu mau pakai barang orang lain, ya harus izin dulu. Ini bisa berlaku dalam banyak konteks: dari kover-mengkover lagu sampai menyetel lagu orang lain di tempat usahamu—yang pada akhirnya mendatangkan pelanggan dan keuntungan buatmu. Hehe.

Dalam aspek yang lebih teknis, banyak musisi di sekitarku yang masih belum paham perbedaan antara “Penulis Lagu” dan “Artist/Performer.” Atau bahkan hal sesimpel, “Asetku kemarin aku titipkan ke mana ya? Bagaimana pengurusannya?”

Hak cipta itu topik yang kompleks, dan sayangnya kita sering acuh tak acuh terhadapnya.

(…Sampai ada sengketa dan duit gedhen, tentu saja. Haha.)

 

 

Lirik jelek dalam bahasa inggris. Seberapa kritis anda tentang hal ini, dan adakah solusi untuk para musisi untuk menangani masalah ini?

“Jelek” ini bisa macam-macam. Pada taraf paling dasar, salah grammar. Jika struktural ini saja sudah salah, gimana mau secara konteks?

Kasarannya: Benar saja belum, gimana mau indah? Haha.

Solusi sederhananya: Install Grammarly atau pakai ChatGPT buat revisi grammar. Solusi yang lebih kompleks: Perbanyak bacaan, dengarkan lebih banyak lagu dalam bahasa Inggris, dan lapangkan dada kalau dikoreksi. Xixixi.

 

Apakah hidup di industri kreatif, terutama musik sudah bisa menghidupkan kita untuk saat ini?

Selama musik masih dipandang sebagai sebuah hiburan yang (harusnya diakses) gratis, well, sepertinya masih banyak peran-peran yang belum bisa hidup dari dirinya. Ha!

 

Mungkin ini pertanyaan agak personal. Anda beberapa hari ini sering misuh dan marah-marah di Twitter, ada apakah gerang yang membuat seorang Kempel sampai seperti itu?

Singkatnya: Onok arek taek dan Aku, ternyata, masih manusia yang cukup rapuh dan reaksioner.

Setidak-tidaknya, itu menunjukan bahwa hatiku masih berfungsi, haha.

 

 

Sejauh apa anda memahami seorang wanita, sejauh yang saya amati, seorang pemikir selalu kesulitan mengatasi masalah ini?

Aku rasa, ada alasan kenapa Melbi menulis, “Susi ajarkanlah pada mereka, bagaimana caranya mengeja. Di jalan tertulis jejak luka, pemerintah tak bisa membacanya.”

Pertama, pemerintah sering kali gagap (kalau “bodoh” terlalu kasar). Kedua, perempuan adalah sosok yang paling sahih untuk mengajarkan kita cara “membaca.” Membaca jejak-jejak luka: kesewenangan, ketidakadilan, dan penindasan, karena perempuan dipaksa mengalami itu semua, bahkan sebelum mereka lahir.

That being said, Aku tak akan pernah bisa memahami perempuan. Sebagaimana aku tak bisa memahami kenapa aku terlahir di dunia menjadi sebuah kanker bernama “Laki-laki”. Entitas yang diam saja-pun, menanggung dosa seisi umat manusia. Hal yang paling bisa aku lakukan adalah tidak menjadi masalah tambahan bagi mereka. Gak cuma perempuan, tapi gender berikut ekspresi seksual lainnya.

 

 

Apa kabar Rumah Serem?

Aku udah resign dari Rumah Serem sejak 2020. Tapi ya, rasa-rasanya resign gak resign, soalnya band itu literally arek-arek gak ngerti musik sing koncoan dan nekat ben-ben’an. Haha.

Kami masih berteman baik. Sangat baik, malahan. Ada beberapa celetukan untuk merekam lagu-lagu kami sampai bikin one-last show.

Tapi ya, namanya rencana, ya…

 

Anda sering berpindah-pindah kota untuk mendapatkan sensasi atau suasana baru. Apakah Kediri dan Malang tidak cukup membuatmu bertahan dan menikmati masa-masa sendu?

Bagaimana jika setiap kota menawarkan kesenduannya sendiri? Ibarat kata, aku adalah jelaga dan kota adalah sumber yang mengalirkan air-airnya.

Nah, jelaga-ku kan gak cuma satu. Haha.

 

 

Erwin Prasetya?

The most underrated bassist and an even more understated composer. Period.

“Kirana” adalah mahakarya Erwin, benar, tapi lagu terbaiknya adalah seorang anak pendiam, dingin, namun begitu kompleks bernama “Sebelum Kau Terlelap”.

Aku bisa menulis artikel terpisah untuk satu lagu ini saja. Seriusan!

 

5 dosis musik harian

Lagu:

Nick Drake – Time Has Told Me

Jeff Buckley – Lover, You Should’ve Come Over

John Mayer – Vultures

KLa Project – Saujana

Majelis Lidah Berduri – 7 Hari Menuju Semesta

 

Album:

Nick Drake – Five Leaves Left

Yes – Fragile

Jeff Buckley – Grace

Dewa – Bintang Lima

Turnover – Good Nature

 

Pewarta: Sri Prabovvo

Comments are closed.